Hak Asasi Manusia Dalam Kaitannya Dengan Hukum Humaniter: Kasus Вђњthe Early Warning Procedureвђќ Israel Dan Palestina (sipil Sebagai Tameng)
By: Monika • Research Paper • 2,206 Words • March 29, 2010 • 3,780 Views
Hak Asasi Manusia Dalam Kaitannya Dengan Hukum Humaniter: Kasus Вђњthe Early Warning Procedureвђќ Israel Dan Palestina (sipil Sebagai Tameng)
HAK ASASI MANUSIA DALAM KAITANNYA DENGAN HUKUM HUMANITER: KASUS “THE EARLY WARNING PROCEDURE” ISRAEL DAN PALESTINA (SIPIL SEBAGAI TAMENG)
Suwesty Megarani
050500245X
I. Pendahuluan
Dewasa ini perkembangan teknologi dan peradaban manusia semakin maju pada setiap tahunnya. Hal tersebut memicu berkembangnya peralatan dan teknik-teknik berperang yang baru. Sejalan dengan hal tersebut, norma-norma yang akan melandasi hukum perang atau lebih sering dikenal sebagai International Humanitarian Law (Hukum Humaniter Internasional) dituntut untuk berkembang pula.
International Humanitarian Law (IHL) merupakan bagian dari Hukum Internasional Umum yang inti dan maksudnya diarahkan kepada perlindungna individu yang khususnya dalam situasi tertentu/ perang. Tujuan utama hukum hunaniter adalah memberikan perlindungan dan pertolongan kepada yang menderita/ menjadi korban perang, baik mereka secara nyata/ aktif turut serta dalam permusuhan (koombat), maupun mereka yang tidak turut serta dalam permusuhan (penduduk sipil = civilian population).
Hal yang akan dibahas lebih menekankan mengenai penduduk sipil saat berlangsungnya konflik bersenjata. Sipil adalah
“any person who does not belong to one of categories of persons refered to in article 4A (1), (2), (3), and (6) of the Third Convention and in article 43 of this Protocol in case of doubht whether a person is a civiliian, that person shall be consideredto be a civillian.”
Penekanan pada masalah tersebut timbul atas banyaknya pelangaran hak-hak sipil dalam konflik bersenjata merupakan dampak dari semakin berkembangnya teknologi persenjataan modern. Masyarakat sipil sering turut merasakan kerugian akibat perang dimana terkadang sipil sendiri digunakan sebagai tameng bagi kepentingan militer. Sipil digunakan sebagai tameng dalam banyak hal, seperti penempatan sipil dalam military object maupun sebagai alat untuk mencapai kepentingan militer dari masing-masing pihak. Saat perang berlangsung, hak asasi masyarakat sipil lebih sering terabaikan daripada diperjuangkan dan diperhatikan. Hak asasi masyarakat sipil dalam konflik bersenjata inilah yang perlu untuk dilindungi.
Hak asasi manusia adalah
“seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan menusia sebagai makhuluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yan wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negata, hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Pada setiap peperangan, kedua belah pihak yang sedang melakukan konflik bersenjata (berperang) selalu menyatakan bahwa tindakan yang telah mereka lakukan tidak melanggar kaidah IHL atau tindakan tersebut dapat dibenarkan dengan alasan tertentu. Dasar pembenar yang sering digunakan adalah alasan military necessity dan proportionality.
Military necessity adalah suatu prinsip dalam hukum internasional humaniter. Prinsip ini merupakan suatu pagar pembatas dalam melakukan peperangan (conduct of armed conflict). Prinsip ini juga merupakan pembenaran atas keadaan darurat (perang) dimana pihak yang berperang diperbolehkan melakukan segala sesuatu untuk kepentingan militer, termasuk kekerasan. Namun, penggunaan kekerasan tersebut harus dibatasi oleh kepentingan militer, kekerasan yang berlebihan untuk mencapai suatu tujuan tidak dapat dibenarkan.
Sedangkan proportionality dapat diartikan sebagai keseimbangan antara keuntungan militer dalam sebuah konflik bersenjata dengan kerugian yang akan ditimbulkan. Hal tersebut menimbulkan dua nilai yang saling bertolak belakang namun perlu pemenuhan yang saling sesuai dan tidak berlebihan. Nilai yang terkandung dalam proportionality adalah kepentingan pihak militer dan kepentingan penduduk sipil saat terjadi kontak bersenjata.
Konvensi Jenewa itu sendiri tidak mengatur secara jelas mengenai asas proportinality. Proportionality lahir berdasarkan suatu kebiasaan hukum international yang kemudian diadopsi sebagai sumber hukum internasional. Oleh sebab itu, standar poportionality bersifat subektif dalam IHL. Dimana masing-masing subjek hukum selalu menberikan definisi yang berbeda mengenai batasan proportionality.
II. Kasus “The Early Warning Procedure”
A. Latar Belakang Kasus
The Early Warning Procedure dapat dipersamakan dengan Neighbour Procedure. Prosedur tersebut dilakukan oleh tentara Israel yang menginginkan seseorang (wanted person) pada daerah pesisir barat. The Early Warning Procedure dilakukan pada waktu dini hari